Minggu, 03 Maret 2013

Pancasila Harga Mati Untuk Negeri


Photo: tubasmedia.com
 Bangsa-bangsa di dunia sudah mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang multi kultur, multi etnis, terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Secara geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari ujung Sabang dan Merauke. Sungguh bukan hal yang mudah untuk menyatukan keragaman itu menjadi satu kesatuan bangsa dalam sebuah negara yang utuh dan kokoh yang terbingkai dalam wadah NKRI.

Dari sekian lama Nusantara terbelenggu oleh datangnya penjajah jauh sebelum kemerdekaan, rakyat di negeri ini bersatu padu untuk mengusir penjajah yang sangat merugikan bangsa ini dari aspek ekonomi, kebebasan berpendapat, penyiksaan dan penganiayaan yang begitu keji dan tidak manusiawi, tentu kondisi tersebut merangsang rakyat Indonesia  dalam emosi yang sama, yakni merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Tumbuhnya emosional yang sama itu melahirkan patriotisme dan nasionalisme yang sangat mahal harganya bagi bangsa ini. Semangat nasionalisme mampu menghilangkan sekat-sekat etnis, bahasa dan agama.  

Pada saat-saat menjelang kemerdekaan, tibalah waktunya bagi para pendiri bangsa (founding fathers) untuk menentukan ideologi negara kesatuan republik Indonesia yang majemuk itu sebagai landasan bagi tegaknya negara tercinta. Disitulah perdebatan sengit mulai muncul antara  dua kelompok utama, yaitu nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler. Perdebatan yang muncul adalah apakah Indonesia mendasarkan diri pada ideologi Islam atau tidak?. Tokoh-tokoh terkemuka dari pihak nasionalis adalah Dr. Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Supomo, Mohammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmojo. Dari kelompok pembela dasar Islam adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH.Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar dan KH. A. Wachid Hasjim. Dari perdebatan dua kelompok Islam tadi melahirkan kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam Jakata”. Dalam piagam ini menyebutkan Indonesia sebagai negara republik yang berasaskan Pancasila. 

Dari kasus tersebut bisa kita lihat bahwa para pendiri bangsa memberikan pertimbangan dan keputusan yang sangat bijak, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dari masa kemerdekaan maupun di masa yang akan datang dan masa-masa seterusnya. Bagi para pendiri bangsa Pancasila adalah asas negara yang bersifat final, harga mati. Artinya pancasila merupakan satu-satunya ideologi negara Indonesia yang mampu menyelamatkan seluruh elemen bangsa yang plural ini. Falsafah negara (Pancasila) yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini akhirnya mampu menyatukan segala perbedaan yang ada.  

Pada perkembangan Indonesia selanjutnya sampai saat ini. Pancasila sebagai ideologi negara yang sudah rupanya banyak mendapat  gesekan dan upaya-upaya pengikisan dari pihak-pihak tertentu. Ancaman berat terhadap Pancasila perlu disikapi dengan serius. Adanya ideologi-ideologi asing yang mengarah pada usaha pengkerdilan Pancasila beberapa tahun terakhir ini telah ditemuai di sekolah-sekolah dasar, seperti adanya larangan menghormat bendera saat upacara, larangan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta bentuk lain yang berusaha mengikis Pancasila. Yang perlu kita waspadai adalah penanaman ideologi tertentu (indoktrinasi) yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap generasi muda, khususnya di tingkat SD, SMP dan SMA yang akan mengancam keutuhan negara kita. Oleh karena itu seluruh elemen bangsa berkewajiban menjaga pancasila dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya kemudian menanamkan kepada anak-anak bangsa yang akan meneruskan perjuangan selanjutnya. 

Tentu yang sangat berperan adalah pemerintah, pemerintah seharusnya menggalakkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Pancasila dengan mengkontekstualisasikan nilai-nilai didalamnya sesuai perkembangan zaman. Dan yang lebih penting lagi adalah mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa indonesia melaului sekolah-sekolah, kampus dan Ormas serta lembaga swadaya masyarkat. Sehingga Pancasila tetap kokoh dan mengakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah harga mati untuk negeri ini.

Oleh: Moh. Tarib

lomba blog pusaka indonesia 2013

Jumat, 01 Maret 2013

Teologi Anti Kekerasan Terhadap Anak (Sebuah Pendekatan Tafsir Tematik Kontekstual)


CONCEPT NOTES
PENELITIAN KOMPETITIF MAHASISWA 2011
PENGEMBANGAN STUDI ISLAM


                                   
A.    Latar Belakang Masalah
            Kekerasan terhadap anak yang terjadi saat ini menjadi persoalan yang memprihatinkan  dalam tatanan  keluarga, agama dan masyarakat. Anak sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya mendapat perlindungan, pendidikan yang layak menuju terwujudnya kecerdasan bangsa sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 45 alinea ke empat. Dalam UU RI No 23/2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak anak adalah bagian dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masayarakat, pemerintah dan Negara.[1]
            Hak dan perlindungan anak juga dijelaskan dalam al-Qur’an (Q.S. Al-Isra’:30;  Al-Baqarah:233; Al-An’am:151). Setiap anak yang lahir dijamin kesuciannya, ia mendapat hak pengasuhan dan pendidikan dari orang tua atau walinya. Kasus yang di ekspose media dari tahun ketahun memperlihatkan betapa sedihnya nasib anak-anak yang di eksploitasi dalam suatu pekerjaan atau pendidikan dengan alasan pembelajaran atau karena alasan ekonomi keluarga sehingga anak menjadi korban kekerasan. Ini sangat kontradiksi dengan ajaran Islam maupun dengan perundang-undangan.
Namun sangat disayangkan apabila anak menjadi korban kekerasan rumah tangga, pelecehan seksual, trafficking dan motif kekerasan lainnya yang dilampiaskan pada anak.  Kasus-kasus penganiayaan terhadap anak marak terjadi dalam lini kehidupan keluarga, sekolah, dan media jejaring sosial yang berkembang saat ini, juga berpotensi akan terjadinya penganiayaan bahkan berakhir pada pembunuhan. Sebagai contoh: Di Depok Jawa Barat seorang guru ngaji menyiksa 3 santrinya dengan air keras. Di Jakarta Utara seorang homosek dan paedofil telah memutilasi 3 anak. Di Tangerang seorang ibu membekap bayinya yang berusia 9 bulan hingga tewas. Dalam harian Berita Jakarta.Com (21-12-2010) dipaparkan bahwa kasus kekerasan yang menimpa anak masih terbilang tinggi. Buktinya, sepanjang tahun ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima sebanyak 2.335 pengaduan kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2009 dimana Komnas PA hanya menerima sebanyak 1.998 kasus. Dari total jumlah pengaduan kekerasan terhadap anak di tahun 2010, sebanyak 62,7 persen merupakan kekerasan seksual seperti sodomi, pemerkosaan, pencabulan, dan incest. Selebihnya merupakan kekerasan fisik dan psikis yang dialami anak.[2]
Masalah seperti itu menjadi tanggung jawab kita bersama, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah dan agama. Sebagai bangsa yang  mayoritas beragama Islam tentu dalam menyelesaikan persoalan merujuk pada al-Qur’an dan Hadis sebagai bahan pertimbangan yang diyakini kebenarannya. Melihat problem sosial yang bertambah kompleks, sudah saatnya agama mengambil sikap yang konkrit terhadap persoalan-persoalan tersebut. Jadi, agama tidak hanya mengajarkan baik dan buruk, pahala dan dosa, dan peribadatan saja.
            Terkait dengan permasalahan diatas sudah saatnya al-Qur’an sebagai kitab suci yang fungsinya sangat universal mencakup berbagai aspek yang bersifat transenden dan profan. Seharusnya memberikan solusi dalam mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan dalam hal ini masalah kekerasan terhadap anak. Upaya mengatasi masalah tersebut, jika ditinjau dari  al-Qur’an tentunya butuh pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan diatas.
            Akan tetapi beberapa karya tafsir yang dihasilkan oleh para ulama belum mampu menjawab realitas sosial saat ini apalagi tafsir yang membahas tentang anti kekerasn terhadap anak yang akan penulis teliti. Untuk itu dalam penelitian ini akan meneliti ayat-ayat tematik    tentang konsep al-Qur’an yang berkaitan dengan anti kekerasan terhadap anak dengan membaca kasus-kasus atau data yang ada, sehingga ada komunikasi antara problem sosial dan al-Qur'an. Namun tafsir klasik maupun tafsir modern belum membahas secara sistematik dan komprehensip tentang kasus kekerasan terhadap anak. Dengan demikian penulis akan menggunakan pendekatan tafsir tematik kontekstual dan bila perlu menggunakan hermeneutik untuk memperoleh pemahaman yang lengkap dan mampu menjawab problem kekerasan terhadap anak yang terjadi saat ini.  

B.     Masalah Penelitian
1.      Bagaimana pandangan al-Qur’an  terhadap kekerasan pada anak?
2.      Bagaimana nilai etis-teologis al-Qur’an  dalam memberlakukan anak?
3.      Bagaimana membangun hubungan yang sehat antara anak, orang tua dan lingkungan sekitarnya?


C.    Batasan  Masalah
1.      Ayat-ayat yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak dengan menggunakan metode tafsir tematik  kontekstual.
2.       Prinsip-prinsip al-Qur’an tentang teologi anti kekerasan pada anak.
3.      Kasus kekerasan terhadap anak yang terhimpun dalam data Komnas Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai penunjang data dalam penelitian ini.

D.    Signifikansi Penelitian
            Dari penelitian ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
1.      Memberi penjelasan kepada masyarakat tentang kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab kepada anak.
2.      Menambah wawasan etis dan humanis dalam memberlakukan anak sesuai dengan nilai-nilai al-Qur’an.
3.      Meminimalisir kekarasan terhadap anak yang disebabkan oleh krisisnya spritual pelaku. Serta mendukung langkah-langkah Komnas Perlindungan Anak dan pemerintah dalam menangani kekerasan terhadap anak.
4.      Sebagai acuan bagi insan akademis dalam memahami realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat dan hubungannya dalam menafsirkan ayat-ayat yang memiliki relevansi dengan masalah kekerasan yang terjadi pada anak. Sehingga al-Qur’an tetap shahih li kulli zaman wa makan

E.     Kajian Riset sebelumnya
            Penelitian tentang kekerasan terhadap anak yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur’an sejauh penelusuran penulis belum ada yang membahas secara spesifik                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 tentang hal itu, walaupun ada hanya sedikit sekali dan itupun membahas kekarasan terhadap anak ditinjau dari aspek hukum Islam dan hukumm positif  saja.
            Penelitian tentang kekerasan terhadap anak telah dilakukan oleh Irwansyah mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pada Tahun 2007 dengan judul ” Kekerasan Terhadap Anak (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif). Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Nur Syahidi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari’ah dengan judul” Kekerasan Terhadap Anak Dalam Fikih Jinayah Dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.  Adapun Penelitian yang penulis ajukan saat ini memiliki kesamaan tema yaitu tentang kekerasan terhadap anak, namun sudut pandang penelitian ini menggunakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan tafsir tematik kontekstual.

F.     Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan diatas diperlukan kerangka teori sebagai peta atau langkah-langkah teoritis yang berkesinambungan. Adapun kerangka teori dalam penelitian ini dibagi kedalam teori berikut:
Menurut Fazlurrahman, persoalan kaidah dan pemahaman (method and hermeneutics) terhadap al-Qur'an belum pernah dibincangkan dengan secukupnya di dalam tradisi Islam dan merupakan perkara yang sangat mendesak pada zaman ini. Corak yang diwarisi dari tradisi keislaman kalasik telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur'an secara terpadu dan koheren, sehingga al-Qur'an dipahami secara atomistik. Para mufassirun dan ummat Islam pada umumnya tidak bisa menangkap keterpaduan pesan al-Qur'an yang dilandaskan pada weltanschouung (pandangan dunia atau worldview) yang pasti.[3]
Oleh sebab itu, dengan kondisi ummat yang semakin kompleks, maka tafsir harus mampu membaca keadaan sekitar secara kritis dan kreatif supaya memberi kontribusi yang solutif terhadap masalah sosial saat ini. Sehingga semangat fundamental al-Qur'an (baca: etika atau moral ) membekas bagi manusia.
Terdapat banyak pengertian dari child abuse (kekerasan pada anak) dari sudut pandang yang berbeda. Muncul pula istilah lain seperti battered baby syndrome. Istilah yang dianggap kurang emosional yaitu non-accidental injury (luka disengaja). Saat sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an, pengertian child abuse dianggap sinonim dengan sexual abuse. Dengan pandangan yang lebih luas dan global, istilah child maltreatment lebih sering digunakan.
Kekerasan pada anak dan penelantaran (neglect) adalah interaksi atau kurangnya interaksi antara anggota keluarga yang mengakibatkan perlukaan yang disengaja terhadap kondisi fisik dan emosi anak. Dalam konteks ajaran Islam, agama Islam sangat menghindari tindak kekerasan yang dapat merugikan dan membahayakan keselamatan orang lain dalam keadaan apapun, bahkan dihindarkan, walaupun memang dalam beberapa hal kekerasan tidak dapat dihindarkan akan tetapi itupun dilakukan atas dasar pertimbangan etika moral dan dengan alasan yang dapat diterima dan dibenarkan syar’i.[4] Dalam wacana  Islam istilah kekerasan tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun hadis, begitu juga dengan anti kekerasan. Akan tetepi al-Qur’an sangat menolak terjadinya tindakan kekerasan dalam bentuk apapun[5].
Berkaitan dengan anti kekerasan terhadap anak, kekerasn terjadi apabila potensi diri seseorang tidak sesuai dengan realitas aktualnya.[6] Sementara Froom mengemukakan, kekerasan dapat dilakukan oleh siapapun dalm kondisi apapun tanpa terkecuali kekerasan yang dilakuykan orang tua terhadapa anaknya. Hal ini menurut Erich Froom tidak lepas dari situasi dan kondisi lingkungan orang tua semasa kecilnya, seperti pendidikan, teladan-teladan buruk dan tuntuna sosial  yang dapat mempengaruhi terjadinya tindakan yang bersifat destruktif.[7]
Tindak kekerasan memberi dampak negatif terhadap anak, inilah yang perlu dihindari agar kekerasan tidak menjadi permasalahan yang berlanjut tanpa kendali. Dampak kekerasan terhadap anak menurut Rusmil, dia mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan penelantaran akan  menghadapi resiko sebagai berikut:
1.      Usia yang lebih pendek
2.      Kesehatan fisik dan mental yang buruk
3.      Masalah pendidikan (termasuk drop out sekolah)
4.      Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak
5.      Menjadi gelandangan.[8]
G.    Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan kajian pustaka, yaitu dengan cara menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan, mereduksi, dan menjadikan data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis.[9] Penelitian pustaka yang dimaksud yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data, yaitu dengan berusaha melacak referensi atau rujukan yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti.
Penelitian ini bersifat deskriftif analisis, dalam artian tidak sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi dari data-data yang berhubungan dengan kekerasan terhadap anak dalam tinjauan tafsir al-Qur’an dengan pendekatan tematik kontekstual.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode tafsir maudu’i (tematik) dengan  pendekatan kontekstual. Tafsir tematik kontekstual  merupakan metode penafsiran yang relevan dengan persoalan-persoalan yang terjadi ditengah masyarakat dalam suatu permasalahan, dalam penelitian ini tentang kekerasan pada anak yang saat ini menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Untuk mengatasi problem sosial (kekerasan terhadap anak) saat ini, pendekatan tafsir tematik kontekstual berusaha mengungkap dan menjelaskan gagasan al-Qur’an serta pesan dan implikasi dibalik teks sendiri.
            Untuk menjawab latar belakang masalah diatas langkah atau teknis yang diperlukan dalam pendekatan tafsir tematik kontekstual  adalah sebagai berikut:
Pertama,  penetapan masalah yang dibahas. Walaupun metode ini dapat menampung semua masalah yang diajukan namun akan mempreoritaskan pada persoalan yang langsung menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat yakni tindak kekerasan terhadap anak. Dengan demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
Kedua,  menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan kekerasan pada anak diuraikan kronologis peristiwanya, baik yang makro maupun mikro.
Ketiga, berusaha memahami  arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri untuk mendapatkan makna aslinya. Kemudian melihat implikasi dibalik makna ayat tersebut. Menurut Quraish Shihab, hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik[10]
Keempat, Analisis komparatif data atau kasus kekerasan terhadap anak dengan memperhatikan gejala-gejala sosial yang menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan, kemudian mengkomparasikan kasus-kasus tersebut dengan ayat yang setema sehingga memperoleh pemahan yang bersifat etis kontekstual.


H.    Sumber Bacaan/Referensi

Ababil, Jufri Bulian. Raju Yang Diburu, Buruknya Peradilan Anak di Indonesia, Yogyakarta:        Pondok Edukasi, 2006.
Enginer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan, Alih bahasa Agus      pihartono,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Froom, Erich. Akar Kekerasan: Analisis Sosio Psikologi Atas Watak Manusia,Yogyakarta:             Pustaka Pelajar, 2000.
Hanafi, Hasan. Hermeneutika Al-Qur’an? Terj. Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009.
Kisbiyah,  Yayah, Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010 .
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago, 1982.
Shihab, Quraish. Secercah Cahaya Ilahi, Bandung: Mizan, 2007.
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta:     Nawesea Press, 2009.
Wahid, Abdurrahman dkk. Islam Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LKiS, 2002.



[1] Lihat pengantar Seto Mulyadi dalam Jufri Bulian Ababil, Raju Yang Diburu: Buruknya Peradilan Anak di Indonesia  (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2006)
                [2]Lihat www.beritajakarta.com, diakses 22 Desember 2010.
[3] Fazlur Rahman, Islam and Modernity  (Chicago and London: Univercity of Chicago Press, 1982), hlm. 2-3.
[4] Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, Alih bahasa Agus pihartono, cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 125
[5] Abdurrahman Wahid dkk, Islam Tanpa Kekerasan  (Yogyakarta:LKiS), hlm. 6
[6] Yayah Kisbiyah, Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, cet.1 (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 3
[7] Erich Froom, Akar kekerasan: Analisis Sosio Psikologi Atas Watak Manusia, cet.1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 34
                [8] Kusnadi Rusmil, Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak (Bandung: Makalah pengantar korban Kekerasan pada Wanita dan Anak, 2004), hlm. 61.
[9] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif  (Jakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 81
            [10] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, cet. Ke xix (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 71.

Islamofobia dan Anti Amerikanisme


Judul   : Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan Dan Benturan Dengan Barat 
Penulis : John L. Esposito 
Penerbit: Mizan 
Terbit   : Desember 2010 
Tebal   : 343 halaman  
 


            Islam kini tidak hanya menjadi sebuah keyakinan yang mengilhami kesalehan pribadi dan menyuguhkan  makna serta pedoman bagi kehidupan saat ini maupun nanti. Islam juga menjadi ideologi pandangan dunia yang menginformasikan politik dan masyarakat Muslim. Islam selalu menjadi sorotan yang fenomenal dalam kaca mata Barat (baca: Eropa, Amerika Serikat) khsusnya ketika dikaitkan dengan terorisme, Islam radikal dan fundamentalis. Kecuriagaan, tuduhan dan ancaman terhadap masyarakat Muslim kian memanas semenjak tragedi 11 September 2001. Seperti yang dilansir Washington Post pada tahun 2006 bahwa hampir separuh penduduk Amerika (46%) berpandangan negatif terhadap Islam.
            Tudingan negatif  terhadap Islam, di Negara Eropa seperti Inggris berkisar 63 persen, 87 persen di Prancis dan 88 persennya lagi di Belanda. Kemerosotan citra Islam di belahan dunia berdampak pada eksistensi masyarakat Muslim yang berdomisili di Negara-negara anti Islam. Umat Muslim selalu diawasai dengan ketat. Ruang geraknya dibatasi dan yang paling menyedihkan adalah mereka di perlakukan secara anarkis.  
            Terlepas dari tudingan yang di lontarkan oleh oknum atau kelompok dari Negara Barat yang risih ketika mendengar sebutan Islam. Di sini John L. Esposito, seorang Profesor Hubungan Internasional dan Kajian Islam di Georgetown University. Melalui bukunya ini Esposito berusaha menghapus stereotip negatif dan memberi ulasan yang mencerahkan tentang Islam.  
            Konflik yang berkepanjangan antara umat Islam dan Barat hingga saat ini belum tuntas, sebenarnya dipicu oleh arogansi kedua belah pihak (Islam-Barat). Pemicu konflik tersebut diperankan oleh kelompok Islam ekstrim-eksklusif yang selalu tumbuh dalam pikiran bawah sadar mereka, bahwasanya Negara seperti Amerika, Israel dan sekutunya merupakan komplotan penjajah yang mengikis nilai-nilai keislaman, menjajah perekonomian dan mau menang sendiri. Sehingga kelompok Islam model ini menyimpan kebencian yang sangat dalam terhadap Amerika dan sekutunya, kemudian dilampiaskan dalam bentuk perlawanan atau aksi terorisme dan bom bunuh diri. Eksklusivisme keagamaan seperti Wahabi atau Salafi jelas menolak pluralisme dan toleransi keagamaan. Baik itu umat Muslim khususnya Syiah apalagi non Muslim. Menurut Esposito teologi Wahabi sebenarnya tidak kasar, namun pandangan dunianya seperti pandangan dunia para pendeta Christian Right yang radikal, yang berpeluang untuk ekstrimisme dan kekerasan. Pandangan Islam seperti ini diperankan oleh teroris global: Osama bin Laden dan Ayman Al-Zawahiri.
            Pasca serangan 11 September, ketika pemerintahan Presiden Bush. Bush mengambil kebijakan perang melawan terorisme global, bukan melawan Islam. Namun kebijakan tersebut hanya formalitas. Pasalnya kebijakan melawan terorisme global ternyata diselewengkan. Orang-orang Islam ditahan dan dihukukm, ruang gerak masyarakat sipil Muslim mulai dikikis dan dibatasi. Standar ganda Amerika dalam menyokong prinsip dan nilai dasarnya, seperti demokrasi, politik partispasi dan HAM. Ketika bersinggungan dengan dunia Muslim, maka Amerika memberlakukannya secara selektif. Hanya beberapa Negara Muslim yang oleh Amerika mendapat sokongan dengan maksud tertentu. Tuduhan senjata pemusnah massal yang dimiliki  Irak ternyata tidak terbukti. Tuduhan tersebut tidak lain agar Irak bisa menerima demokrasi yang ujungnya  Saddam Hussein digulingkan dari jabatannya.
            Buku yang berjudul Masa Depan Islam Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat ini sangat apresiatif dan komprehensip dalam mengkritisi antara Islam dan persinggungannya dengan Barat khususnya Amerika. Mengingat masa depan Islam-Barat tetap merupakan isu penting dalam politik dan keagamaan pada abad ke-21 ini.. Masa depan Islam dan Barat bergantung pada kerjasama demi pemerintahan yang baik, saling menghormati termasuk dalam menahan dan menyinkirkan provokator serta teroris yang mengancam hubungan dunia internasional.

*Moh. Tarib adalah mahasiswa Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam  UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.