Minggu, 10 Agustus 2014

Produktifitas Teknologi dan Ketahanan Budaya






“Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu mempertahankan identitasnya”. Begitulah kiranya ungkapan provokatif bagi bangsa yang ingin maju, tanpa melupakan kearifan yang ada.
Kemajuan teknologi begitu pesatnya bak arus yang tidak dapat dibendung melaju kesemua penjuru. Dari perkotaan hingga ke desa terpencil pun kini dapat merasakan manfaat teknologi. Beragam produk teknologi dengan inovasinya telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitasnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mampukah kita memanfaatkan teknologi secara produktif tanpa harus melupakan budaya dan karakter bangsa, atau teknologi itu akan melahirkan budaya baru, sehingga budaya yang sudah ada terkikis habis digantikan budaya asing.
Problema Era Digital
Kini jarak dan waktu tidak menjadi kendala bagi masyarakat untuk berbuat sesuatu. Adanya teknologi transportasi jarak tempuh perjalanan menjadi cepat, adanya teknologi informasi seseorang menjadi mudah melakukan kemunikasi via handphone (HP) atau melalui jaringan internet dan alat komunikasi lainnya. Kemajuan teknologi semacam ini tentu akan mempengaruhi life style seseorang dalam kesehariannya. Kita ambil contoh dilingkungan akademik; baik di sekolah atau kampus yang saat ini mulai dikembangkan sekolah berbasis IT, kampus digital dan segala macamnya. Siswa atau mahasiswa yang berada di lingkungan kampus tersebut pola berpikir mereka akan terlihat praktis dan isntan, semua pekerjaan ingin cepat, tanpa memakan waktu yang lama, tanpa mengeluarkan tenaga dan biaya banyak. Tapi apabila kita melihat pada sisi yang lain dan ini tidak perlu terjadi. Instanisasi dunia akademik yang serba praktis juga memberi peluang bagi siswa tau mahaisiswa untuk plagiat dan copy paste tugas-tugas maupun karya-karya ilmiah. Hal semacam ini terjadi ketika siswa atau mahasiswa malas baca dan menulis. Ketika seseorang ditimpa penyakit malas baca, maka ia akan mengalami kesusahan dalam mengungkapkan gagasan, ide dan temuan-temuan kreatifnya.  Sehingga kemudian ia akan mengambil jalan pintas dengan cara copy paste atau menjiplak karya orang lain.
Teknologi Positif dan Produktif
            Teknologi ibarat dua sisi mata pisau, yaitu bisa bermanfaat dan mencelakakan, begitu pun dengan teknologi memiliki seribu manfaat dan seribu bahaya. Namun yang terpenting adalah bagaimana menggunakan teknologi secara positif dan produktif sehingga kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi itu sendiri. Teknologi yang positif adalah dilihat dari person (user) dan tujuannya memang kearah perbaikan dan kemaslahatan bersama, bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar. Bukan malah merusak tatanan yang sudah membudaya dan itu merupakan karakter bangsa yang patut dijunjung tinggi dan perlu dilestarikan. Sebagai contoh, bagaimana agar komodo sebagai salah satu kekayaan Indonesia bisa menajadi 7 kejaiban dunia, dalam hal ini peran teknologi sangat penting untuk mempublikasikan Pulau Komodo ke dunia internasional dengan harapan publik mengakui bahwa komodo benar-benar layak menjadi 7 kejaiban dunia. Hal yang terpenting ketika membuncangkan teknologi dan budaya bangsa adalah produktifitas kearah perbaikan dan ketahanan kearifan lokal (local wisdom) serta seluruh aspek kekayaan budaya bangsa Indonesia.


Membangun Karakter


 

Setiap perguruan tinggi (PT) negeri maupun swasta melaksanakan kegiatan tahunan terhadap mahasiswa baru guna memberi pengenalan awal mengenai dunia kampus sebagai bekal disaat menjalani perkuliahan, organisasi, dan kegiatan lainnya. Kegiatan semacam ini biasanya disebut ospek, opak, pelonco dan semacamnya.Model pelaksanaan pengenalan dunia kampus di setiap universitas mempunyai cara yang berbeda sesuai dengan pola dan tujuan mahasiswa senior sebagai panitia sekaligus pelaksana. Mau diarahkan kemana mahasiswa baru tersebut, itu sudah dirancang sebelumnya.  
Jika suatu universitas yang menguasai lembaga kegiatan mahasiswa (LKM) adalah mahasiswa yang berkarakter akademis, tentu pola pembekalan terhadap mahasiswa baru berorentasi pada ranah akademis. Sehingga bisa diasumsikan mahasiswa baru tersebut nantinya akan cenderung pada perkuliahan, bagaimana mendapatkan IPK yang bagus, bagaimana agar cepat lulus, dan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Pola pembekalan seperti ini ada sisi kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan pola yang demikian dapat memacu konsentrasi belajar dan fokus sesuai dengan target yang akan dicapai.  Namun perlu dipertimbangkan lagi, karena mahasiswa yang ansich akademis akan cenderung melupakan aspek yang sangat penting bagi masyarakat kelak, yaitu jiwa kepedulain sosial, perjuangan melawan penindasan, melawan ketidakadilan.
Begitupun sebaliknya, jika mahasiswa senior sebagai pelaksana orientasi kampus adalah mereka yang berjiwa pergerakan, Maka pola pengenalan dunia kampus kepada mahasiswa baru lebih menekankan pada semangat perjuangan, semangat perlawanan, dan perlawanan segala macam bentuk tirani lainnya. Termasuk kebijakan kampus dan pemerintah yang tidak memihak pada mahasiswa dan rakyat kecil akan menjadi tema utama yang wajib disampaikan pada mahasiswa baru. Sebagaiman pola yang pertama diatas, pola kedua inipun mempunyai kekurangan, yakni pada wilayah akademis. Bisa dikatakan bahwa moyoritas mahasiswa pergerakan cenderung mengabaikan perkuliahan, tugas-tugas dosen dan hal-hal lainnya.
Orientasi atau pembekalan seharusnya mampu membangun karakter mahasiswa yang berjiwa intelektual-akademis serta jiwa perjuangan dan perlawanan. Sehingga mahasiswa baru benar-benar menjadi agent social of change  yang bisa diharapakan oleh masyarkat, bangsa dan Negara.