Senin, 15 Desember 2014

Desa Tubo Tengah


Moh. Tarib
PSP3 Angkatan XXIII Provinsi Sulawesi Barat


Pemuda kelahiran Pamekasan 29 Juli 1988 ini akrab dipanggil Tarib. Ia menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (UIN-SuKa) dijurusan Tafsir dan Hadits.

Selama kuliah , Tarib aktif dalam kegiatan kampus baik akademis maupun non akademis. Beberapa kegiatan yang pernah ia ikuti adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII Ushuluddin), Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits (BEM-J TH) sebagai ketua, Lembaga Pers Mahasiswa HumaniusH, Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se Indonesia (FKMTHI) menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.

Selain aktif dalam kegiatan Kampus, Tarib menyibukkan diri dalam kegiatan kemasyarakatan. Ia berkecimpung di kepengurusan Masjid, Majelis Ta’lim dan Pendidikan TKA-TPA di Gedongkuning Yogyakarta.

Bagian dari hidup yang sangat penting dan berharga baginya adalah kesempatan dan jaringan (capital networking). Termasuk dedikasi untuk mengabdikan diri sebagai PSP3 di Desa Tubo Tengah, Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. Menjadi modal untuk memanfaatkan kesempatan masa muda untuk hidup berdampingan bersama masyarakat serta membangun jaringan yang lebih luas dengan komunitas, LSM, dan Lembaga-lembaga pemerintah setempat.

Secara geografis Desa Tubo Tengah diapit oleh pesisir dan bukit pegunungan, tidak ada dataran yang bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian produktif. Masyarakat pada umumnya berkebun di bukit pegunungan yang jauh dari rumah penduduk dan harus melalui medan yang cukup sulit dan mendaki. Hasil kebun mereka adalah cengkeh dan kakao. Bisa dikatakan bahwa desa ini minim lahan pertanian, sehingga menuntut masyarakat untuk mencari nafkah ke pulau seberang yakni ke Kalimantan dan ke beberapa negara tetangga.

Melihat kondisi masyarakat dan potensi Desa Tubo Tengah, Moh.Tarib melirik salah satu potensi lokal yang tersedia. Potensi yang cukup berlimpah adalah pohon kelapa yang berjejer disepanjang pinggiran Desa Tubo Tengah. Ia mengenalkan sekaligus memberi pelatihan kepada masyarakat tentang seni kerajinan batok kelapa untuk dijadikan berbagai souvenir khas Sulawesi Barat. Tarib mengajak pemuda dan para anggota PKK untuk membantu produksi aneka kreasi batok kelapa, kemudian hasil produksi ia pasarkan ke outlet-outlet penjual souvenir. Sampai saat ini BBM Craft (nama brand kerajinan) yang ia rintis telah menerima pesanan dari Kalimantan, Batam, Jambi. Untuk menambah produktivitas dan keratifitas pemuda Desa Tubo Tengah, Tarib melebarkan kreasinya pada pemanfaatan sampah dan kria daun kering. Bahkan  BMM Craft binaan Tarib ini sering mengikuti even pameran industri kreatif ditingkat kabupaten hingga expo tingkat nasional. Dari hasil produksi kerajianan batok kelapa, sampah, kria dan daun kering sudah bisa dinikmati hasilnya baik bagi dirinya maupun bagi anggota binaanya, khususnya para pemuda. Dengan ide dan kemauan, Desa yang minim sumber daya alam ini merangkak dan terus melangkah memberi alternatif dari kebuntuan mencari kerja menuju penyedia lapangan kerja.

Rupanya semangat berwirausaha pemuda ini sudah dimulai, semenjak ia kuliah di Yogyakarta. Sejak semester 3 hingga semester 5 ia buka usaha pempek khas palembang dan roti bakar khas Bandung. Ia lakukan karena demi bertahan hidup dan tetap melanjutkan kuliahnya. Walhasil dari kerja kerasnya ia bisa menghidupi dirinya dan menyelsaikan studinya tanpa banyak membebani kedua orangtuanya. Begitu pula dengan kehidupannya yang sekarang di Tanah Mandar Sulawesi Barat, ia berbagi pengalaman dan ilmunya kepada pemuda Desa Tubo Tengah yang sekarang menjadi lahan pengabdiannya.

Disisi lain, Sarjana Tafsir Hadits ini merasa terpanggil untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan, pendidikan  dan kegiatan masyarakat. Moh. Tarib berkecimpung membina Majelis Ta’lim, Remaja Masjid, dan TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) di Desa penempatannya.Ia berpendapat bahwa “kesejahteraan dalam sebuah masyarakat, semata mata bukan hanya dilihat dari aspek ekonomi saja, akan tetapi moralitas dan pengamalan terhadap nilai-niliai agama serta pendidikan itu jauh lebih penting. Krisis ekonomi lebih mudah diatasi dibandingkan krisis moral”. Untuk itu, ia mengajak pemuda, pengurus masjid, orangtua untuk bersama-sama menghidupkan kampung dengan menghidupkan masjid melalui khotbah Jum’at, Majlis Ta’lim dan kegiatan belajar TPA.



Dalam hal mendorong minat belajar anak-anak dilingkungannya, Tarib memanfaatkan Mobil Pintar milik Perpustakaan Daerah Kabupaten Majene diminta untuk datang secara rutin ke Desa guna memacu minat baca anak-anak sejak dini. Karena menurutnya, disaat usia anak-anaklah satu-satunya kesempatan untuk membaca, menyerap informasi dan ilmu. Apabilah sudah  usia remaja keatas, mereka akan disibukkan dengan gadget dan jejaring sosialnya  sehingga kesempatan untuk membaca sangat minim.


Untuk langkah lebih lanjut, Moh. Tarib telah mencanangkan sebuah lembaga BINA MUDA MANDIRI CENTER (BM2C) atau Be “M” to see, dimana BM2C ini bergerak dibidang Kewirausahaan Pemuda, Pemberdayaan Masyarakat, Lingkungan dan Pariwisata. Dalam  bidang Kewirausahaan, Tarib mencanangkan konsep “satu dusun satu produk”. Tingkat produktivitas suatu dusun menjadi potensi vital bagi kemajuan Desa. Untuk saat ini baru ada dua dusun yang produktif dalam bidang kerajinan ini.

Selanjutnya, untuk bidang Pariwisata, BM2C membantu pemerintah desa untuk destinasi wisata bahari. Desa Tubo Tengah memiliki pesona pantai pasir putih yang memukau untuk dikembangkan sebagai aset ekonomi dan budaya. Sehingga nantinya Desa Tubo Tengah menjadi salah satu desa wisata eksotik di Sulawesi Barat.








“Berusaha lebih baik dan tidak membebani orang lain”

Kegiatan Pelatihan
 
Kegiatan Pameran
 
bu Gub. Sulawesi Barat  Eny Anggraini
 
Kegiatan Pameran Prov. Sulbar
 
Kegiatan Membaca Anak-Anak
 

Minggu, 10 Agustus 2014

Produktifitas Teknologi dan Ketahanan Budaya






“Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu mempertahankan identitasnya”. Begitulah kiranya ungkapan provokatif bagi bangsa yang ingin maju, tanpa melupakan kearifan yang ada.
Kemajuan teknologi begitu pesatnya bak arus yang tidak dapat dibendung melaju kesemua penjuru. Dari perkotaan hingga ke desa terpencil pun kini dapat merasakan manfaat teknologi. Beragam produk teknologi dengan inovasinya telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitasnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mampukah kita memanfaatkan teknologi secara produktif tanpa harus melupakan budaya dan karakter bangsa, atau teknologi itu akan melahirkan budaya baru, sehingga budaya yang sudah ada terkikis habis digantikan budaya asing.
Problema Era Digital
Kini jarak dan waktu tidak menjadi kendala bagi masyarakat untuk berbuat sesuatu. Adanya teknologi transportasi jarak tempuh perjalanan menjadi cepat, adanya teknologi informasi seseorang menjadi mudah melakukan kemunikasi via handphone (HP) atau melalui jaringan internet dan alat komunikasi lainnya. Kemajuan teknologi semacam ini tentu akan mempengaruhi life style seseorang dalam kesehariannya. Kita ambil contoh dilingkungan akademik; baik di sekolah atau kampus yang saat ini mulai dikembangkan sekolah berbasis IT, kampus digital dan segala macamnya. Siswa atau mahasiswa yang berada di lingkungan kampus tersebut pola berpikir mereka akan terlihat praktis dan isntan, semua pekerjaan ingin cepat, tanpa memakan waktu yang lama, tanpa mengeluarkan tenaga dan biaya banyak. Tapi apabila kita melihat pada sisi yang lain dan ini tidak perlu terjadi. Instanisasi dunia akademik yang serba praktis juga memberi peluang bagi siswa tau mahaisiswa untuk plagiat dan copy paste tugas-tugas maupun karya-karya ilmiah. Hal semacam ini terjadi ketika siswa atau mahasiswa malas baca dan menulis. Ketika seseorang ditimpa penyakit malas baca, maka ia akan mengalami kesusahan dalam mengungkapkan gagasan, ide dan temuan-temuan kreatifnya.  Sehingga kemudian ia akan mengambil jalan pintas dengan cara copy paste atau menjiplak karya orang lain.
Teknologi Positif dan Produktif
            Teknologi ibarat dua sisi mata pisau, yaitu bisa bermanfaat dan mencelakakan, begitu pun dengan teknologi memiliki seribu manfaat dan seribu bahaya. Namun yang terpenting adalah bagaimana menggunakan teknologi secara positif dan produktif sehingga kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi itu sendiri. Teknologi yang positif adalah dilihat dari person (user) dan tujuannya memang kearah perbaikan dan kemaslahatan bersama, bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar. Bukan malah merusak tatanan yang sudah membudaya dan itu merupakan karakter bangsa yang patut dijunjung tinggi dan perlu dilestarikan. Sebagai contoh, bagaimana agar komodo sebagai salah satu kekayaan Indonesia bisa menajadi 7 kejaiban dunia, dalam hal ini peran teknologi sangat penting untuk mempublikasikan Pulau Komodo ke dunia internasional dengan harapan publik mengakui bahwa komodo benar-benar layak menjadi 7 kejaiban dunia. Hal yang terpenting ketika membuncangkan teknologi dan budaya bangsa adalah produktifitas kearah perbaikan dan ketahanan kearifan lokal (local wisdom) serta seluruh aspek kekayaan budaya bangsa Indonesia.


Membangun Karakter


 

Setiap perguruan tinggi (PT) negeri maupun swasta melaksanakan kegiatan tahunan terhadap mahasiswa baru guna memberi pengenalan awal mengenai dunia kampus sebagai bekal disaat menjalani perkuliahan, organisasi, dan kegiatan lainnya. Kegiatan semacam ini biasanya disebut ospek, opak, pelonco dan semacamnya.Model pelaksanaan pengenalan dunia kampus di setiap universitas mempunyai cara yang berbeda sesuai dengan pola dan tujuan mahasiswa senior sebagai panitia sekaligus pelaksana. Mau diarahkan kemana mahasiswa baru tersebut, itu sudah dirancang sebelumnya.  
Jika suatu universitas yang menguasai lembaga kegiatan mahasiswa (LKM) adalah mahasiswa yang berkarakter akademis, tentu pola pembekalan terhadap mahasiswa baru berorentasi pada ranah akademis. Sehingga bisa diasumsikan mahasiswa baru tersebut nantinya akan cenderung pada perkuliahan, bagaimana mendapatkan IPK yang bagus, bagaimana agar cepat lulus, dan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Pola pembekalan seperti ini ada sisi kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan pola yang demikian dapat memacu konsentrasi belajar dan fokus sesuai dengan target yang akan dicapai.  Namun perlu dipertimbangkan lagi, karena mahasiswa yang ansich akademis akan cenderung melupakan aspek yang sangat penting bagi masyarakat kelak, yaitu jiwa kepedulain sosial, perjuangan melawan penindasan, melawan ketidakadilan.
Begitupun sebaliknya, jika mahasiswa senior sebagai pelaksana orientasi kampus adalah mereka yang berjiwa pergerakan, Maka pola pengenalan dunia kampus kepada mahasiswa baru lebih menekankan pada semangat perjuangan, semangat perlawanan, dan perlawanan segala macam bentuk tirani lainnya. Termasuk kebijakan kampus dan pemerintah yang tidak memihak pada mahasiswa dan rakyat kecil akan menjadi tema utama yang wajib disampaikan pada mahasiswa baru. Sebagaiman pola yang pertama diatas, pola kedua inipun mempunyai kekurangan, yakni pada wilayah akademis. Bisa dikatakan bahwa moyoritas mahasiswa pergerakan cenderung mengabaikan perkuliahan, tugas-tugas dosen dan hal-hal lainnya.
Orientasi atau pembekalan seharusnya mampu membangun karakter mahasiswa yang berjiwa intelektual-akademis serta jiwa perjuangan dan perlawanan. Sehingga mahasiswa baru benar-benar menjadi agent social of change  yang bisa diharapakan oleh masyarkat, bangsa dan Negara.

Minggu, 03 Maret 2013

Pancasila Harga Mati Untuk Negeri


Photo: tubasmedia.com
 Bangsa-bangsa di dunia sudah mengakui bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang multi kultur, multi etnis, terdiri dari berbagai suku dan bahasa. Secara geografis Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari ujung Sabang dan Merauke. Sungguh bukan hal yang mudah untuk menyatukan keragaman itu menjadi satu kesatuan bangsa dalam sebuah negara yang utuh dan kokoh yang terbingkai dalam wadah NKRI.

Dari sekian lama Nusantara terbelenggu oleh datangnya penjajah jauh sebelum kemerdekaan, rakyat di negeri ini bersatu padu untuk mengusir penjajah yang sangat merugikan bangsa ini dari aspek ekonomi, kebebasan berpendapat, penyiksaan dan penganiayaan yang begitu keji dan tidak manusiawi, tentu kondisi tersebut merangsang rakyat Indonesia  dalam emosi yang sama, yakni merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Tumbuhnya emosional yang sama itu melahirkan patriotisme dan nasionalisme yang sangat mahal harganya bagi bangsa ini. Semangat nasionalisme mampu menghilangkan sekat-sekat etnis, bahasa dan agama.  

Pada saat-saat menjelang kemerdekaan, tibalah waktunya bagi para pendiri bangsa (founding fathers) untuk menentukan ideologi negara kesatuan republik Indonesia yang majemuk itu sebagai landasan bagi tegaknya negara tercinta. Disitulah perdebatan sengit mulai muncul antara  dua kelompok utama, yaitu nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler. Perdebatan yang muncul adalah apakah Indonesia mendasarkan diri pada ideologi Islam atau tidak?. Tokoh-tokoh terkemuka dari pihak nasionalis adalah Dr. Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. Supomo, Mohammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Dr. Buntaran Martoatmojo. Dari kelompok pembela dasar Islam adalah Ki Bagus Hadikusumo, KH.Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar dan KH. A. Wachid Hasjim. Dari perdebatan dua kelompok Islam tadi melahirkan kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam Jakata”. Dalam piagam ini menyebutkan Indonesia sebagai negara republik yang berasaskan Pancasila. 

Dari kasus tersebut bisa kita lihat bahwa para pendiri bangsa memberikan pertimbangan dan keputusan yang sangat bijak, sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dari masa kemerdekaan maupun di masa yang akan datang dan masa-masa seterusnya. Bagi para pendiri bangsa Pancasila adalah asas negara yang bersifat final, harga mati. Artinya pancasila merupakan satu-satunya ideologi negara Indonesia yang mampu menyelamatkan seluruh elemen bangsa yang plural ini. Falsafah negara (Pancasila) yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini akhirnya mampu menyatukan segala perbedaan yang ada.  

Pada perkembangan Indonesia selanjutnya sampai saat ini. Pancasila sebagai ideologi negara yang sudah rupanya banyak mendapat  gesekan dan upaya-upaya pengikisan dari pihak-pihak tertentu. Ancaman berat terhadap Pancasila perlu disikapi dengan serius. Adanya ideologi-ideologi asing yang mengarah pada usaha pengkerdilan Pancasila beberapa tahun terakhir ini telah ditemuai di sekolah-sekolah dasar, seperti adanya larangan menghormat bendera saat upacara, larangan menyanyikan lagu Indonesia Raya serta bentuk lain yang berusaha mengikis Pancasila. Yang perlu kita waspadai adalah penanaman ideologi tertentu (indoktrinasi) yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap generasi muda, khususnya di tingkat SD, SMP dan SMA yang akan mengancam keutuhan negara kita. Oleh karena itu seluruh elemen bangsa berkewajiban menjaga pancasila dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya kemudian menanamkan kepada anak-anak bangsa yang akan meneruskan perjuangan selanjutnya. 

Tentu yang sangat berperan adalah pemerintah, pemerintah seharusnya menggalakkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Pancasila dengan mengkontekstualisasikan nilai-nilai didalamnya sesuai perkembangan zaman. Dan yang lebih penting lagi adalah mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa indonesia melaului sekolah-sekolah, kampus dan Ormas serta lembaga swadaya masyarkat. Sehingga Pancasila tetap kokoh dan mengakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah harga mati untuk negeri ini.

Oleh: Moh. Tarib

lomba blog pusaka indonesia 2013